Cetak halaman

Diri Yang Terilhami (Nafs-i Mulhima)

Ada tujuh martabat diri...

Amarah (penghasut), lawwamah (pencela diri), mulhimah (terilhami), mutmainnah (damai), radhiyah (rida), mardhiyah (diridai), dan safiyah (murni)![1]

Kata 'diri' (nafs) merujuk kepada kesadaran individu.

Berdasarkan pangkalan datanya, ketika kesadaran individu pertamakali terbentuk, ia beranggapan bahwa keinginan jasmani sebagai keinginan dirinya, dan karenanya mendasarkan keberadaannya pada kejasmanian dan tubuhnya. Fase ini dirujuk sebagai diri penghasut (nafsu amarah).

Ketika diri, yang membatasi dirinya kepada jasmaninya, menyadari bahwa kehidupan tidak akan berakhir dengan kematian tubuh, bahwa ia akan melanjutkan kehidupannya, dan ia akan menghadapai akibat dari tindakan-tindakannya di dunia di alam wujud berikutnya, penyesalan yang dirasakannya karena kesalahannya yang membahayakan masa depannya dikenal sebagai celaan (lawm), dan karenanya didefinisikan sebagai diri-pencela(nafsu-lawwamah). 

Dalam kedua kasus ini, sang diri, atau kesadaran individu, berkutat dan terikat dengan jasmani. Yakni, apa yang terjadi berhubungan dengan 'bumi' (ardh)! Kesadaran individunya belum menyadari langit (sama) dirinya!

Ketika kesadaran individu menyadari bahwa ia bukannya tubuh melainkan reflektor dan manifestasi kesatuan universal, ia kemudian disebut sebagai diri yang terilhami (nafsu mulhima) karena realisasi ini melalui ilham internal.

Pada tingkatan ini, kesadaran individu mulai memperhalus pikiran-pikiran jasmaniahnya. Kadang-kadang merasa diri sebagai tubuh, di lain kali sebagai sesuatu yang lain... Walaupun, pada tahapan ini, ia belum mampu mendefinisikan diri sebagai 'selain tubuh jasmaninya', karena hal ini bukan realitas yang dapat diakali dengan ilmu.

Tingkat kesadaran individu ini mungkin tingkatan yang paling sulit. Akan dialami banyak kontradiksi. Terkadang akan melihat dirinya sebagai seorang hamba, dan kadang melihat dirinya sebagai Realitas, dan berdasarkan ini ia akan mengalami hasil-hasil yang berbeda!

Sangat sedikit orang yang mampu melewati fase ini.

Orang yang pada tahap ini melihat dirinya sebagai Realitas, bahkan mungkin tidak memikirkan tentang kewalian (!) Mereka bahkan mungin mengabaikan dan menghilangkan semua amalan-amalan agamis dan memperturutkan kehendak jasmaninya.

Bagi penganut kebenaran, tindakan MEMBACA dimulai di sini. Mereka mulai MEMBACA SISTEM yang disebut sunnatullah.Pada tingkat kesadaran ini, mereka mencerna realitas yang dibawa Rasul Allah serta sebab-sebabya, dan mulai menjalani realitas ini pada tingkatan yakin (haqqul yaqiin).

Di sini, ia terbebas dari semua konsep dualitas (hanif)! Di sini, ia benar-benar beriman kepada yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah...

Di sini ia menjadi tersucikan melalui penderitaan (kasyf-i zulmani) dan mencapai temuan yang tercerahkan (kasyf-i nurani).

Di sini ia akan memahami rahasia Al-Qur'an yang berlaku hingga Hari Kiamat...

Orang pada tingkatan ini dianggap telah tercerahkan dan disebut sebagai orang yang 'arif', namun belum mencapai tingkat kewalian.

Orang-orang yang oleh masyarakat, atau mereka yang suka meniru-niru bukannya bertafakur, disebut sebagai 'wali' serta 'ghauts' atau 'qutub' dan lain-lain mencakup tingkat kesadaran ini. Mereka bahkan terkadang meyakini bahwa mereka layak mendapat sebutan ini karena penyingkapan yang mereka alami. Padahal pada tahap ini, semua wawasan dan ilmu mereka bagaikan setetes air dibanding mata air kewalian.

Martabat kewalian bahkan bagai samudera yang luas yang belum terjangkau...!

 

 

28 Maret 2003

Raleigh – NC, USA

 



[1] Keterangan lebih lanjut mengenai topik ini bisa Anda lihat dalam buku Mengenal Diri.

16 / 85

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini