Cetak halaman

Makna Kalimat Tauhid

Kalimat Tauhid (Kalimat Kesatuan); La ilaha illallah, meliputi landasan dari keyakinan Islam.

Secara harfiah, ia berarti: Tidak ada tuhan, hanya Allah.

Jika kita mengevaluasi maknanya… La berarti Tidak ada, ilaha artinya tuhan, yakni tidak ada tuhan.

Perlu dicatat bahwa, bagian pertama dari kalimat tauhid merupakan sebuah penyangkalan: tidak  ada tuhan, tidak ada dewa, setelah itu kalimat ini menegakkan realitas illa Allah, HANYA ada ALLAH!

Penting sekali untuk memahami betapa kelirunya mengevaluasi dan menerjemahkan pernyataan ini menurut bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Arab dewasa ini.

Mari kita lihat sebuah contoh. Pernyataan Arab: La rajulun illa Ali dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai: ‘Tidak ada laki-laki sejati kecuali/melainkan Ali’ atau ‘Tidak ada laki-laki seperti Ali’ atau ‘Di antara para laki-laki tidak ada yang serupa Ali’  (catat bahwa semua pernyataan ini menunjukkan bahwa faktanya ada laki-laki lain, tapi mereka tidak serupadengan Ali). Namun, tatkala kata illa digunakan dalam kaitan dengan kata ALLAH, ia tidak berarti ‘tuhan seperti Allah’, yakni, tidak boleh difahami sebagai, ‘ada tuhan-tuhan lain, tapi tidak satupun seperti Allah’, karena makna sebenarnya yang ditunjuk dengan kata ALLAH membatalkan anggapan ini sejak awalnya.

Sama seperti halnya kata tambahan bentuk lampau kaana yang hilang makna umumnya apabila digunakan sehubungan dengan Allah, dan diambil sebagai bentuk kalimat sekarang, kata kecuali (illa) yang muncul berdampingan dengan kata Allahjuga hilang konotasi umumnya dan artinya menjadi hanya. Berikut adalah contohnya:

KaanALLAhu ghafurur rahiima tidak dapat diterjemahkan sebagai ‘Allah itu dulu Ghafur lagi Rahim’ karena fitur-fitur yang ditunjuk dengan Nama-nama Allah tidak terkena dampak waktu; semuanya selalu hadir dan selalu efektif.

Serupa dengan itu, illa Allah tidak bisa diartikan kecuali Allah, yang menunjukkan keberadaan yang lain, tapi mesti difahami sebagai hanya Allah!

Fitur-fitur komposisional dari yang Esa yang kepadanya kata Allah merujuk, tidak menerima keberadaan yang lain, terutama yang selain dirinya.

Oleh karena itu, kata kaana, illa dan semua pernyataan lain yang menunjukkan waktu dan keberadaan (lain) mesti ditafsirkan bertepatan dengan makna Allah tatkala digunakan sehubungan dengannya. Jika tidak, tak dapat dihindari, ia akan menghasilkan konsepsi tuhan di luar sana!

Kembali kepada Kalimat Tauhid: Tidak ada Tuhan, hanya ada Allah. Dengan mengingat hal ini, pesan pertama yang disampaikan kepada kita adalah Tidak ada tuhan. Hanya setelah penyangkalan ini, dikatakan kepada kita ILLA ALLAH.Seperti telah dijelaskan di atas, karena kata illa digunakan disamping kata Allah, satu-satunya penafsiran yang benar terhadap penyataan ini adalah HANYA ADA ALLAH bukannya kecuali Allah atau melainkan Allah, karena tidak ada wujud lain yang ada yang dapat dibandingkan terhadap Allah atau dikecualikan dariNya![1]  Karenanya, agar KESATUAN dan KEESAAN (non-dualitas) dari keyakinan Islam bisa dikomunikasikan dengan benar, Kalimat Tauhid mesti difahami dan diterjemahkan dengan tepat.

Jadi, apa bedanya penyembahan dengan pengabdian?

Menuhankan atau menyembah sesuatu memerlukan keberadaan sosok tuhan. Yakni, tindakan sebenarnya dari menyembah seseorang atau sesuatu berarti ada penyembah dan yang disembah. Hal ini mengarah kepada dualitas. Ada Anda sebagai individu, kemudian ada tuhan Anda di luar diri Anda, dan Anda menyembah tuhan ini. Jelas bahwa ini merupakan interaksi dari dua pihak. Karenanya dapat kami katakan bahwa penyembahan itu, dalam konteks ini, merujuk kepada kumpulan semua tindakan yang dilakukan dalam menghormati Tuhan duniawi atau tuhan samawi (eksterior) ini.

Frase ABDU HU (hamba/abdi HU) dalam Kalimat Syahadat (Kalimat Kesaksian)[2], jelas menunjukkan bahwa pengabdian itu perlu  kepada sang Esensi Absolut, yakni kepada HU.

Adapun makna pengabdian… Semua tindakan yang dilakukan oleh individu, berdasarkan program penciptaannya dan fitrah alaminya, diistilahkan sebagai pengabdian. Seperti dikatakan dalam ayat ke-56 surat Adz-Dzariyat:

“Telah Aku ciptakan jin dan manusia agar mereka mengabdi kepadaKu (dengan cara mewujudkan fitur-fitur dari Nama-namaKu).”

Karenanya, mustahil bagi mahluk Allah untuk menyimpang dari tujuan keberadaan mereka. Ayat ini menunjukkan keputusan yang jelas dan hasilnya. Hal yang tepat juga untuk mengingat ayat:

“Tidak ada satu mahluk melata pun melainkan Dia memegang keningnya (otak: pemrograman otak oleh nama Al-Fatir).” (Al-Qur’an 11:56)

Bahkan ayat “hanya kepadaMu lah kami mengabdi” pada surat pembuka Al-Fatihah, menampakkan makna ‘kami melaksanakan tugas kami dengan menjalankan fungsi-fungsi program yang diperlukan pada penciptaan kami dan tujuan yang karenanya Engkau menciptakan kami’.

“Katakanlah: ‘Setiap orang bertindak menurut program penciptaannya masing-masing (fitrah alami).’” (Al-Qur’an 17:84)

Pengabdian merupakan hasil dari tindakan oleh manifestasi individu, berdasarkan program penciptaan yang diberikan kepada mereka oleh AL-FATIR. Yakni, apabila individu hidup sesuai dengan fitrah alami mereka, mereka mengabdi kepada tujuan dari penciptaan mereka.

Tanpa sadar akan keberserahdirian atau pembangkangan, semua tindakan dari semua individu dapat dianggap sebagai pengabdian. Keberserahdirian dan pembangkangan merupakan jenis pengabdian yang berbeda.



[1]   Bahasan yang lebih jauh mengenai topik ini bisa Anda dapatkan dalam buku saya Apa Yang Dibaca Nabi Muhammad?

[2]  Kalimat Syahadat adalah kesaksian terhadap Kalimat Kesatuan. Secara harfiah berarti: “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan, hanya ada Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul HU (Allah) dan hambanya.”

4 / 45

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini