Cetak halaman

Allah Bukanlah Refleksi

Topik mengenai refleksi (cerminan) ilahiah (tajalli) juga sangat penting…

Karena Allah wujud secara absolut di setiap titik dan keberadaan, ini berarti bahwa Allah tidak memiliki refleksi!

Refleksi (tajalli) menunjukkan manifestasi, visualisasi atau materialisasi. Namun semua ini menyiratkan dualitas. Kita tahu bahwa keberadaan itu ESA dan segala sesuatu terjadi didalam yang ESA ini. Karenanya, refleksi dari yang ESA ini tak dapat diterima akal.

Kata refleksi digunakan hanya karena kelemahan bahasa, karena tidak ada satu kata pun yang dapat mewadahi makna yang ESA.

Untuk memiliki refleksi, apapun pertama-tama mesti memiliki pusat, inti, esensi yang darinya makna-makna dapat direfleksikan ke tempat refleksinya, seperti halnya sinar yang menyebar dari inti matahari. Oleh karenanya, Allah harus juga memiliki inti untuk bisa memiliki refleksi. Ini mustahil! Allah bukanlah entitas materi berbatas yang memiliki inti. Sebuah refleksi memerlukan titik sentral yang darinya sesuatu muncul. Tanpa titik sentral ini, kita tidak dapat berbicara mengenai refleksi.

Diluar definisi yang telah diterima secara umum ini, makna aktual yang berkaitan dengan topik kita adalah: Proyeksi Nama-nama sebagai dunia tindakan selama penglihatan fitur-fitur dan makna-makna dari Nama-nama oleh Allah, di dalam ilmu Allah.

Di masa lampau, guru-guru tertentu menggunakan kata refleksi (tajalli) untuk menunjuk kepada realitas ini. Buku saya yang pertama, di terbitkan pada tahun 1967, juga diberi judul Tecelliyat yang secara harfiah berarti refleksi dalam artian umum. Kata-kata semacam ini juga digunakan untuk membantu mereka yang berbakat untuk menemukan esensi dari kebenaran ini.

Setelah penjelasan ini, marilah kita lanjutkan penjelajahan kita… Dapatkah Allah disembah? Siapa yang akan menyembah Allah?

Nabi Muhammad (saw) mengatakan hal berikut mengenai Allah:

“Begitulah Allah dulu. Dan tak ADA yang lain selain Allah.”

Mendengar perkataan ini, para pendengarnya menyampaikan hal ini kepada Hazrat Ali, yang dirujuk Nabi Muhammad (saw) sebagai gerbangnya ilmu dan menantikan penjelasannya. Jawaban Hazrat Ali adalah:

“Dan masih demikian seperti biasanya” (dalam bahasa Arabnya “Al an kamaa kan”).

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Allah yang sekarang sama dengan Allah telah lalu, yakni bahwa tidak ada yang berubah mengenai Allah dari dulu hingga sekarang!

Lebih dalam lagi… Kata al dalam bahasa Arab merujuk kepada hal yang tertentu bukannya hal yang umum. Jika kita mengatakan buku, ini berarti sebuah buku, buku apapun. Namun bila kita mengatakan buku itu (al kitab), kita sedang merujuk kepada buku tertentu yang kita ketahui. Karenanya, untuk mengatakan al an dimana al an artinya saat, ini merujuk kepada saat tertentu yang diketahui. Karenanya, makna frase ini dapat dinyatakan ulang sebagai:

Saat tersebut (yang kita alami sekarang) adalah saat itu! yang berarti bahwa Saat itu dimana Allah berada dan tidak ada yang lain selain ALLAH adalah saat SEKARANG ini!

Konsep waktu pada intinya hanya berlaku terhadap wujud yang dimunculkan. Hanya sesuatu yang diciptakan yang bisa memiliki awal dan akhir, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang… Allah jauh di luar konsep semacam itu. Karenanya, tidak absah jika berpikiran bahwa Allah dalam keadaan begitu di masa lalu dan dalam keadaan yang lain di saat sekarang! Allah selamanya dalam keadaan sempurna yang sama di setiap saat.

Dalam artian ini, meskipun perkataan seperti dulu digunakan dalam merujuk Allah, tergantung kita bagaimana menafsirkan ini dengan benar karena ia di luar konsep waktu, berlaku untuk SEMUA waktu atau bahkan dalam ketiadaan waktu.

Semua ini merujuk kepada realitas bahwa saat kita berada ini merupakan saatnya Allah, dan tidak ada yang lain selain Allah!

Tidak ada yang mewujud dari Allah!

Buktinya? Buktinya ada dalam surat Al-Ikhlas.

Karena Allah itu Ahad, bentuk wujud kedua adalah mustahil! Mustahil pula bahwa Allah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian di sepanjang waktu.

Ahad hanya berlaku untuk penampakan tunggal, dinyatakan dengan kata dahr.

Aku ini dahr!

Dahr adalah penampakan bahwa Ahad adalah dirinya.

Allah itu SHAMAD…

Jika kita melihat lebih jauh kepada makna dari kata ini, akan kita dapatkan bahwa Shamad memiliki arti:

Keseluruhan tanpa celah atau kekosongan, kedap, tidak ada yang tembus melaluinya, tidak ada yang keluar darinya, murni dan satu-satunya![1]

Seperti dapat difahami, semuanya itu sinonim dengan dan melengkapi pengertian kata Ahad.

Yang Esa tanpa celah atau cacat, yang tidak dapat ditembus atau dimasuki dan tidak ada yang keluar darinya, tak-berbatas, tak-hingga, tidak dapat dibagi-bagi, tidak tersusun dari bagian-bagian atau dari pecahan-pecahan, yang ESA dan HANYA SATU-SATUNYA, AHAD.

Mari kita mencoba memahami Allah dari apa yang dirujuk oleh kata-kata ini. Jika tidak, kita tidak akan berhenti menyembah Tuhan yang kita ciptakan dalam pikiran kita dan termasuk dalam kelompok “orang-orang yang tidak memahami Allah dengan sepatutnya.” (Al-Qur’an 6:91)

Selain itu, Shamad juga berarti Yang Esa Yang Mencukupi DiriNya Sendiri Secara Absolut, diluar konsep membutuhkan.

Jika tidak ada yang lain selain Allah, bagaimana mungkin Allah membutuhkan apapun?

Maka, dari manakah datangnya Allah yang Ahad seperti yang disingkapkan oleh Nabi Muhammad (saw)?

Bagaimanakah wujud yang timbul dengan amat besar serta  mahluk-mahluk yang demikian banyak ini, yang berpangkal dari Allah yang Ahad ini, diterangkan oleh Nabi Muhammad (saw)?

Lagi-lagi, surat Al-Ikhlas telah menjawabnya:

LAM YALID WA LAM YULAD[2]



[1]  Abdullah Ibn Burayd mengatakan: “Ash-Shamad alladzi la jawfa lah” untuk merujuk kepada hal ini. Maknanya dapat ditemukan dalam tafsir Al-Qur’an Elmali Hamdi Yazir jilid ke-9, pada halaman 6306-6307.

[2]  (Al-Qur’an 112:3)

9 / 45

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini