Dia Muriid. Kehendaknya tak hingga. Karenanya, semua ekspresi yang keluar dari kehendak berasal dari KehendakNya, mewujud sesuai dengan komposisi Nama-nama yang dibawa dalam esensinya.

Jika kita meninjau sebuah aktivitas seorang individu kita mengatakan “ia bertindak dari kehendak bebasnya”. Sedangkan yang nampak keluar dari kehendak dalam realitasnya tak lebih dari pengungkapan Kehendak yang Esa melalui individu tersebut; bagai air yang mengalir dari keran tertentu tak ada bedanya dengan air dalam penampungannya.

Aplikasi dari prinsip yang sama terhadap semua nama-nama dan sifat-sifat lainNya, seperti Kekuatan, Perkataan, Pendengaran, Penglihatan dan sebagainya, menunjukkan bukti kebenaran bahwa Allah meliputi ‘segalanya’.

Maka dapat kita simpulkan bahwa hanya ada satu kehidupan di seluruh keberadaan, dan itu adalah kehidupan dari Yang Hidup-Kekal (Hayy). Dan lagi-lagi, hanya ada satu kehendak di seluruh kosmos, dan itulah Muriid (Pemilik Kehendak Absolut). Jika Kehendak yang Esa tak-hingga dan tak berbatas, maka bagaimana kita dapat memecah-mecah kehendak eternalNya dengan menisbahkan kehendak parsial individu kepada mahluk?

Dia lah Sang Maha Penguasa, maka, seluruh ekspresi kekuasaan berkenaan dengan Kekuasaannya. Setiap penampakan makna, dan semua aksi dari setiap atom, semuanya dapat ditelusuri kepada nama-nama yang maha meliputi tanpa batas yang memanifestasikan Ilmunya yang Esa.

Karenanya, hanya ada satu Kehendak, satu Kekuasaan, dan satu Pengetahuan tak hingga yang mengarahkan Kehendak dan Kekuasaan ini yang terkait dengan yang Esa yang diwakili oleh nama Allah.

Dia menyingkap dan melihat DiriNya pada cermin nama Allah, namun pada saat yang bersamaan menyatakan:

“Sungguh, Allah (dalam istilah Hakekat AbsolutNya) adalah Ghani dari (terkondisikan dan terbatasi oleh) seluruh alam (komposisi individu dan materi dari Nama-namaNya).” (Qur’an 29:6)

ALLAH adalah Pra-eternal dan Pos-eternal (Baqi).

Semua alam nampaknya berupa gelombang-gelombang peralihan dari ketiadaan dan bergerak menuju ketiadaan dalam samudra Keabadian.

Kita pun bagai sebuah gelombang, terbentuk dari samudra itu dan kembali menuju kepadanya. Karena segala sesuatu akan kembali kepada sumbernya, demikian pula setiap gelombang yang terbentuk akan kembali kepada keadaan tak berbentuk dalam samudra itu dan lenyaplah!

Dalam pandangan mereka yang berilmu, bahkan gelombang-gelombang pun tiada.

Suatu hari akan tiba dan pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita sebenarnya ‘tiada’. Anggapan kedirian kita akan terhapuskan dalam keberadaan Allah, dan api neraka internal kita kemudian akan padam. Lalu siapa yang akan kita lihat dalam cermin?

Akankah cermin itu Dia yang Abadi dan ‘sang diri’ menjadi kosong?

Dalam kenyataan, tak ada gunanya berbicara mengenai ketiadaan dari kekosongan. Seperti namanya saja, kosong! Karenanya, bagi yang tercerahkan, di setiap saat hanya ketiadaan kecuali Yang Maha Kekal. Sebenarnya, bagi yang tercerahkan tidak ada istilah ‘setiap saat’ dan hanya ada ‘satu saat’.

Akhirnya, semua ini hanya dapat dijalani dan dialami, namun sebagai kesimpulan pembicaraan kita:

Untuk mengevaluasi keberadaan dengan konteks yang benar, kita harus melihat keberadaan seolah memandang dari ujung sebuah kerucut. Yakni dari titik kesatuan menuju keragaman, dari inti dalam ke cangkang luar, bukan sebaliknya.

Karena tak terbatasi, Keberadaan tak hingga tak memiliki batas, tak ada keberadaan lain selain Dia, namun ketakberbatasannya harus dikenali dari sudut pandang sifat-sifatnya yang tak hingga.

Kami selalu berusaha untuk menjelaskan sifat tak hinggaNya dari sudut pandang KeabsolutanNya. Kini kita harus mengenali sifat tak hinggaNya dari sifat-sifatNya. Dengan demikian, kita akan mengenal Kehidupan, ilmu, Kehendak, dan KekuasaanNya yang tak-hingga, dan kita akan memahami bahwa apa yang disebut ‘kehendak-bebas’ yang kita sandangkan pada diri kita hanyalah produk dari kelima indera kita. Setelah memahami realitas mendasar bahwa kehendak-bebas kita tidak ‘bebas’ dari KehendakNya, kita bisa berhenti dari sikap memecah-mecah dan menjadi faham maksud dari ayat berikut:

“Janganlah berpaling kepada tuhan-tuhan (perwujudan luar dari kekuatan) selain Allah.” (Al-Qur’an 28:88)

Jika kita telah ditakdirkan untuk memahami KetakhinggaanNya, bukan sekedar dari sudut pandang Keberadaan AbsolutNya melainkan juga dari sifat-sifatnya dan seluruh KeberadaanNya, maka kita akan menyadari bahwa takdir tidak lain adalah medan penglihatan yang mewujud pada kehendak yang Esa.

21 / 34

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini