Mari kembali pada Jagat yang kita ciptakan dalam imajinasi kita. Kita bayangkan dan kita penuhi dunianya dengan individu-individu yang berbeda, memperlengkapi mereka dengan ketrampilan dan kemampuan. Dengan demikian, individu-individu ini, dalam imajinasi kita, mewujudkan esensi mereka berdasarkan ketrampilan yang diberikan. Dapatkah kemudian kita mengatakan bahwa individu-individu ini memiliki kehendaknya sendiri yang independen, yang dengannya mereka memilih untuk mengatur tindakan mereka?

Ataukah lebih tepat lagi jika dikatakan bahwa individu-individu imajiner ini memproyeksikan karakteristik-karakteristik bawaan yang kita berikan pada mereka? Mari kita anggap bahwa satu di antara individu ini melakukan pembunuhan dan membunuh individu lainnya, dan orang ketiga yang menyaksikan kejadian tersebut mengatakan, “Si anu telah membunuh si anu”. Namun semua ini terjadi pada tingkatan ilmu kita, dalam pikiran dan imajinasi kita. Kita menulis ceritanya, mengatur peran mereka, dan mereka memainkan perannya. Jadi, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa, “Si anu telah membunuh si anu dengan kehendak dan keputusannya sendiri?” Mengatakan demikian mengandung asumsi bahwa ‘semua’ individu memiliki kehendak yang bebas, dan karenanya menghapuskan Kehendak yang Esa. Pernyataan adanya kehendak yang bebas disamping Kehendak yang Esa secara tidak langsung mencabik dan mengurangi Kehendak AbsolutNya.

Dalam bukunya, Hujjatullahi Al Baligha, Syeikh Veliullah Dihlevi, yang dikenal sebagai pembaru (mujaddid) dari generasi setelah Imam Rabbani, mengatakan:

“Manusia dapat memilih tindakan mereka, namun pilihan ini tak pernah nyata karena secara ilahi termotivasi oleh manfaat dan imbalan tertentu yang membuatnya berpikiran bahwa itu adalah pilihannya, sedangkan dalam kenyataannya merupakan kewenangan yang Agung yang tersamarkan.”

KARENANYA, “…MEREKA TAK PUNYA PILIHAN…” (Qur’an 28:68)

Nabi Muhammad saw berkata:

“Hati berada di antara dua jari Allah, Dia mengubahnya sesuai kehendakNya.”

Ibrahim Hakki Erzurumi, yang dikenal sebagai seorang Penolong Besar (ghauts) pada masanya, berkata dalam Marifetname:

“Kebebasan pra-eternal berada di atas dan lebih besar dibandingkan sebab-sebabnya, karena seseorang tidak dapat memohon sesuatu setelah Allah memberinya.

Karenanya, ketetapan Allah merupakan sebab dari segala sesuatu, dan tak satupun menjadi sebab atau alasan bagi ketetapanNya. KaruniaNya tidak berasal dari Anda. Dimana Anda ketika karuniaNya datang kepada Anda?

Segala hal bergantung pada kehendakNya, sedangkan kehendakNya tak bergantung pada apapun. 

Karena Allah melakukan apa yang dikehendakiNya. Ayat yang berbunyi, ‘Allah melakukan apa yang dikehendakiNya’[1] memberitahu kita bahwa segala sesuatu berasal dari kehendak dan kekuasaanNya.”

Banyak ayat Al-Qur’an dan ucapan Nabi Muhammad saw yang menjelaskan topik ini. Saya tak ingin mengulang semuanya di sini[2], namun dua ayat berikut akan memperkuat bahasan di sini:

“Tidak ada suatu bencana apapun yang menimpamu di bumi (pada tubuhmu dan dunia luar)  atau pada dirimu sendiri (alam batinmu) melainkan telah tercatat dalam kitab (terbentuk dalam dimensi ilmu) sebelum kami menjadikannya! Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”

“Kami beritahukan kepadamu supaya kamu tidak berdukacita terhadap apa yang luput darimu atau terlalu gembira dengan apa yang diberikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri!” (Qur’an 57:22-23)

Untuk memahami inti pembicaraan ini, kita mesti memandang situasi ‘luar’ dari titik esensi ‘dalam’; kita mesti melihat keserbaragaman dari titik kesatuan. Jika kita mencoba memandangnya secara terbalik, yakni jika kita memandang puncak piramid dari dasarnya, visi kita akan terhalangi di suatu tempat di sepanjang jalan, dan akan terbelokkan oleh semua detil dan kehilangan Esensinya.

Satu-satunya kondisi yang mesti terpenuhi, agar bisa memahami dan memecahkan misteri ini dari intinya, adalah dengan memandang yang ‘banyak’ dari titik yang ‘Satu’, untuk memandang manifestasinya dari titik Esensinya, bukan sebaliknya. Dalam melakukannya, seseorang pasti akan melihat bahwa keberadaan ‘luar’, yakni dunia konseptual dari bentuk-bentuk, hanyalah proyeksi makna-makna implisit dalam Ilmunya!

Semua bentuk kehidupan membutuhkan kehidupan dari HidupNya.

Dia Maha Mengetahui (Aliim). Karenanya, semua ilmu yang berkaitan dengan ciptaan berasal dan berada dalam IlmuNya. Ilmu Allah tidak berbatas dan tak-hingga.



[1] Al-Quran 2:253

[2] Untuk informasi lebih lanjut silakan merujuk kepada buku Misteri Manusia dan Pikiran dan keyakinan

20 / 34

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini