Sebagian penduduk neraka merupakan personifikasi dari amal-amal manusia. Jika kita berusaha menjelaskan apa makna kiasan-kiasan yang berkenaan dengan neraka sebenarnya, itu akan mengherankan dan dan sulit dibayangkan. Kehidupan surga dan neraka mengingatkan kita pada keadaan mimpi. Kedua kata ini hanyalah rujukan perumpamaan, yang perlu ditafsirkan, dan mustahil dilakukan di sini, tidak bisa sepenuhnya dijelaskan.

Hadits yang berbunyi, “Kayu bakar dan batubara (bahan bakar) neraka adalah manusia” dan “Allah menciptakan bagi hamba-hambanya apa-apa yang di surga yang tak satu telinga pun pernah mendengarnya, tak satu mata pun pernah melihatnya, dan tak satu pikiran pun pernah bisa membayangkan…[1] menyinggung kepada perkara ini.

“Dan Rabb mereka akan memberi mereka anggur murni (kias keadaan karena tersingkapnya realita).”[2]

Ini juga berarti bahwa Rabb mereka akan membuat mereka bisa mengalami cinta sejati! Sebagaimana madu menjadi simbol keimanan, susu menyimbolkan ilmu laduni (ilmu yang berkenaan dengan potensi Nama-nama yang menyusun esensi diri), sedangkan air merupakan simbol dari marifatullah.

 

Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa…

Ada tafsir Al-Qur’an, dan ada makna yang nyata… Tafsir Al-Qur’an adalah pengembangan dari makna tersurat sebagai hasil dari kajian yang berat. Makna aktualnya, di sisin lain, hanya bisa diketahui oleh ‘para ahli realita (hakikat)’ – yakni mereka yang dikaruniai dengan ilmu dari sisiNya (IndaAllah) (daya-daya yang disingkapkan melalui penampakan dimensional kepada kesadaran dari Nama-nama Allah yang menyusun esensi dirinya). Mereka mengetahui makna setiap ayat dan hadits.

“Dan tidak ada yang bisa memahami ini kecuali orang-orang yang yang telah mencapai esensi diri (para ahli realita yang melalui mereka Allah mendengar, melihat dan berbicara; ulul albab).”[3]

‘Para ahli realita’ adalah mereka yang dibimbing kepada ilmu realita. Dengan ilmu yang disingkapkan kepada mereka oleh Rabbnya seluruh alam, mereka memberitahu kita makna sebenarnya dari setiap ayat.

“Hanya Allah yang mengetahui tawilnya (yang sebenarnya dan tepat). Orang-orang yang telah mantap ilmunya (mendalam perenungannya) berkata, 'Kami beriman, semua ini dari Rabb kami.' Dan tidak seorang pun bisa memahaminya kecuali orang-orang yang telah mencapai esensi (para ahli realita yang melaluinya Allah mendengar, melihat dan berbicara; ulul albab).”[4]

Para ahli realita ini adalah orang-orang yang telah dibimbing kepada ilmu laduni (ilmu yang berkenaan dengan potensi Nama-nama yang menyusun diri). Mereka hidup tanpa hijab; mereka telah mencapai realita.

“Minyaknya (dari pohon itu) (penglihatan akan realita di dalam kesadaran) hampir-hampir bercahaya meskipun tidak tersentuh api (pembersihan aktif) ...”[5]

Ini adalah anugrah ilahi, karuniaNya…

Itulah karunia Allah; Dia memberikannya kepada yang Dia kehendaki.[6]

Dan tidak seorang pun bisa bertanya mengapa Dia berbuat demikian.

“Dia tidak ditanya (dimintai pertanggungjawaban) atas apa yang Dia lakukan!”[7]

Ada sebagian orang yang hanya mendengar tentang samudera; semua ilmu mereka berdasarkan pada apa yang mereka dengar. Lalu ada sebagian yang telah melihatnya, namun karena ketidakmampuan berenang, mereka hanya berjalan-jalan di pantai, mungkin sejauh kedalaman lutut. Ada lagi sebagian yang yang tahu cara berenang dan berenang jauh ke tengah. Tapi di luar itu semua, ada sebagian yang hampir telah menjadi samudera, mereka berenang sampai dalam dan jauh serta menemukan hal baru di setiap saatnya.

Itu ragam orang berkenaan dengan ilmunya. Sebagian hanya dari mendengar saja, sebagian lagi membaca Al-Qur’an dan merasa cukup dengan memenuhi perintah-perintahnya dan menahan diri dari apa-apa yang dilarang. Itu halnya bagi kebanyakan muslim.

Tapi ada sebagian lagi yang berupaya keras dan bersungguh-sungguh untuk menguasai semua kerumitan yang halusnya. Mereka dirujuk sebagai ‘al-abrar’.

Masih ada yang lain lagi, yang memiliki kemampuan tinggi, dan Allah menganugerahi mereka. Mereka berenang jauh dan sangat dalam dan karenanya menemukan dan memahami rahasia-rahasia ilahi. Mereka dikenal sebagai ‘al-muqarribun’. Mereka adalah orang-orang pilihan.

“Allah memilih bagi DiriNya siapa yang Dia kehendaki…”[8]

Mereka berpikiran baik dan mendasarkan prasangka mereka pada kesempurnaan Rabb mereka! Mereka bertindak sesuai dengan hadits Qudsi:

“Aku sebagaimana prasangka hambaKu.”

Dan ayat:

“Sungguh, prasangka-prasangka tertentu adalah pelanggaran/dosa (mengarah kepada atau sebagai hasil dari dualitas/syirik)!”[9]

 

 

 

Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa…

Sang Pencipta terus-menerus memberikan rezekiNya yang tidak terhitung kepada mahlukNya. Pertama, pada tataran eksternal, Dia memberi Anda tubuh dengan makanan dan minuman. Kemudian, Dia memberi Anda kesadaran dengan ilmu. Dan selanjutnya, melalui manifestasi di setiap saat, Dia terus memberi Anda tubuh material dan spiritual. Kita bisa terus membuat daftar tingkatan pemberianNya, tapi mari kita cukupkan dengan yang tiga ini. Setiap pemberian sangat cocok dengan sifat alami penerimanya, setiap waktu memungkinkannya untuk berevolusi sedikit demi sedikit dan menjadi semakin dekat menuju esensinya. Walaupun pemberian ini mungkin bersifat umum, masing-masing menerima menurut kapasitas dan keahliannya. Dia yang mempunya piring yang besar tentunya akan memiliki ruang untuk menerima lebih banyak. Itu tergantung kapasitas orangnya.

“Allah memberi rezeki (baik rezeki terbatas untuk kehidupan jasmani dan rezeki kehidupan tak-hingga berkenaan dengan realisasi realita batin seseorang dan manfaat-manfaatnya) kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa perhitungan…”[10]



[1] Sahih Muslim

[2] Quran 76:21

[3] Quran 3:8

[4] Quran 3:8

[5] Quran 24:35

[6] Quran 5:54

[7] Quran 21:23

[8] Quran 42:13

[9] Quran 49:12

[10] Quran 2:212

5 / 12

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini