Fitrah alami individu pada dasarnya adalah bagaimana dan mengapa ia diciptakan dan diprogram untuk mencerminkan dan mewujudkan fitur-fitur tertentu. Semua benih diberi asupan secara tepat dengan apa yang dibutuhkannya hingga dia tumbuh dan berkembang untuk memenuhi fungsi tujuan ia diciptakan. Titik dimana perwujudan ini mencapai akhirnya akan menandai titik tertinggi evolusinya, titik dimana rezekinya akan berakhir, dan akan memulai perjalanannya kembali ke asalnya.

“Setiap orang berbuat menurut program penciptaannya (fitrah alaminya).”[1]

“Sungguh, Kami telah menciptakan segala sesuatu dengan programnya (qadar– takdir).”[2]

Salah satu dari misteri-misteri lain yang mesti dipelajari pada maqom ini adalah mengenai apakah fitrah yang menentukan nasib seseorang ataukah takdir yang menentukan fitrahnya. Atau dengan kata lain, apakah ilmu yang memungkinkan sesuatu diketahui, ataukan pengetahuan yang menuntun kepada ilmu. Maka Anda akan merenungkan ayat berikut:

“Engkau tadinya tidak mengetahui hal ini (engkau hidup di dalam kepompong), dan Kami telah menghilangkan hijabmu darimu, maka penglihatanmu mulai dari sekarang menjadi tajam.”[3]

Dan:

“Dan Dia bersamamu (asal dari wujudmu) dimanapun engkau berada (karena realitamu hadir dengan Nama-namaNya) ...”[4]

Tapi berhati-hati lah! Jagalah kerendahatianmu karena ada banyak Kebenaran yang belum Anda ketahui; ilmu Anda masih belum cukup. Maka renungkan ini dan hadirkan ketidakberdayaan Anda kepada sang Pencipta.

Rasulullah (saw) memohon ampunan tujuh puluh kali sehari meskipun Beliau mengetahui belum memahami hakikat dari Esensi Absolut, yang jelas mustahil.

Makanya kita mengatakan:

“Rabb-ku, tambahkan kepadaku ilmu.”[5]

Dan jauhilah dualitas (syirik) tersembunyi dan asumsi-asumsi yang keliru. Tidak ada pikiran, konsep, ide atau ilmu yang bisa melingkupi Dia!

“Penglihatan (indra penglihat) tidak bisa melihat Dia tapi Dia melihat (mengevaluasi) semua yang nampak.”[6]

Demikianlah, tiada mahluk bisa melihat sang Pencipta. Mungkinkah sebuah karya seni bisa melihat senimannya?

Eksternal itu internal dan internal itu eksternal! Gagasan bahwa keduanya berbeda merupakan persepsi yang salah, asumsi yang keliru karena ketidakmampuan mata. Kita menyebut bagian yang nampak sebagai ‘eksternal’ dan aspek yang tak-nampak sebagai ‘internal’, padahal keduanya merujuk pada benda yang sama! Mata lah yang memisahkan keduanya menjadi dua hal yang berbeda. Realitanya, segala sesuatu merupakan keseluruhan yang menyatu yang terus-menerus mencerminkan dan mewujudkan fitur-fitur sang Tunggal. Dan ketika semua perwujudan mencapai akhirnya, hanya Allah yang tersisa. Bahkan ini terjadi di setiap saat. Wujud adalah kepunyaan Pemiliknya. Semua bentuk yang seolah nampak merupakan proyeksi dari mata.

Milik siapa kekuasaan? Yang Esa yang akan mengakhiri semua cerminan!

Semua ini merupakan penglihatan yang dihasilkan oleh perintah,

“Matilah sebelum engkau mati!”[7]

Para pembaca yang terhormat…

Jika Anda tidak bisa melakukannya sendiri, maka carilah seseorang yang berilmu, orang yang telah mencapai esensi! Mata air tidak akan datang kepada Anda jika Anda haus, Anda mesti mencarinya keluar! Itu akan menunjukkan jalan Anda!

“Sungguh, Kami telah menghiasi langitnya bumi (otak manusia) dengan planet-planet (data astrologis) dan melindunginya (atmosfir bumi) dari setiap Setan yang membangkang (kesadaran yang suci jauh dari jangkauan denyut-denyut khayal).”[8]

Orang-orang yang telah sampai kepada esensi bagai bintang-bintang; mereka adalah bintang-bintang dari langit perenungan! Mereka terlindungi dari gangguan setan, minat-minat pribadi dan pikiran-pikiran buruk, dan berdiam pada maqom yang bahkan jin pun tidak bisa menjangkaunya. Mereka telah menjadi wali, sahabatnya Allah yang terlindungi.

Maka, luruskan dan teguhkan langkah Anda dengan salah satu dari mereka.

“Dan dia menuntun kepada realita dengan (Nama-nama yang menyusun esensi dari) bintang-bintang (para ahli realita, hadits: ‘Para sahabatku bagai bintang-bintang; siapapun dari mereka yang kalian ikuti, kalian akan sampai kepada Kebenaran’)...! ”[9]

Maka, jika Anda tidak bisa menemukan jalan, carilah bintang-bintang itu dan ikuti mereka… Jadikan Rasul sebagai pembimbing Anda, Al-Qur’an sebagai guru Anda, dan sang Kebenaran Absolut sebagai koneksi Anda.

Tapi ingatlah, tiada sesuatu yang terkena kematian bisa menjadi guru absolut! Paling jauh, mereka bisa menjadi penerus Rasulullah (saw), dan itupun hanya mungkin bagi orang-orang yang mencerminkan karakter beliau.

“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan ilmu (mengenai realita dan ketentuan-ketentuannya).”[10]

Ibn Arabi berbicara mengenai Kebenaran ini di dalam kitabnya Mutiara Hikam (Fushushul Hikam). Bagaimana seseorang bisa mengklaim bahwa dirinya adalah seorang guru padahal dia tidak lebih dari sekedar pemberi peringatan, pemberi informasi, penyampai berita gembira dan sebagai saksi?

Saya terpukau bahwa orang-orang mengklaim demikian padahal Al-Qur’an tidak memanggil mereka sebagai seorang guru (murshid) bahkan Rasulullah (saw) pun tidak pernah mengklaim semacam itu!

Saya merasa terkejut melihat orang-orang yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan merokok mengaku sebagai guru dan mengambil alih peran Al-Qur’an!

Sungguh, kita hidup di jaman dimana orang-orang buta sedang menjelaskan tentang seekor gajah.

Tapi ketahuilah bahwa sudah tiba saatnya bagi semua jalan untuk menyatu!



[1] Quran 17:84

[2] Quran 54:49

[3] Quran 50:22

[4] Quran 57:4

[5] Quran 20:114

[6] Quran 6:103

[7] Mutiara Hikmah, Ibn Arabi

[8] Quran 37:6-7

[9] Quran 16:16

[10] Quran 5:99

8 / 12

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini