Mereka tidak membahayakan orang lain, demikian pula sebaliknya. Mereka pergi jika Anda memintanya pergi, dan datang jika Anda memintanya datang. Bahkan setelah Anda menyingkirkannya tujuh puluh kali, mereka akan datang jika Anda memintanya datang, tanpa membawa rasa dendam ataupun sakit hati. Mereka adalah kepanjangan tangan sang Rabb; mereka tidak mengambil keuntungan. Seandainya Anda memberi mereka hadiah, mereka akan memberikannya kepada orang lain.

Mereka tidak menginginkan kemasyuran, status atau label apapun…

Mereka mengajak orang-orang untuk mengikuti Rasulullah (saw) serta hanya mengambil Al-Qur’an saja sebagai tuntunan.

Jika Anda mengajukan pertanyaan kepada mereka, mereka akan menjawabnya sesuai dengan anjuran, “Berbicaralah kepada orang-orang sesuai dengan tingkat kecerdasannya.”[1]

Mereka bagaikan cermin – siapapun yang memandang mereka seolah sedang melihat diri mereka sendiri. Cacat dan kesalahan yang nampak pada mereka akan dilihat sebagai cacat dan kesalahan diri mereka sendiri.

Jika Anda seperti semua orang di jaman Anda, Anda akan melihat mereka, para wali, tidak berbeda dengan diri Anda. Jika Anda termasuk orang-orang yang mengejar kehidupan akhirat, yang takut akan siksa dan menginginkan kesenangan, lagi-lagi Anda akan melihat mereka serupa dengan itu. Jika Anda tidak termasuk dari keduanya, melainkan melampaui keduanya, lagi-lagi Anda pun akan mendapati mereka di maqom kedatangan... Itulah salah satu hijab ilahi yang menghalangi mereka untuk dikenal. Yang lainnya berupa bentuk dan tampilan fisik semata.

Karena kebanyakan orang tidak bisa melewati tingkat pemahaman tertentu, mereka tidak mampu memikirkan tentang bentuk ciptakan yang begitu banyak diluar jangkauan persepsi mereka, mereka menilai menurut apa yang mereka lihat. Karenanya dengan penilaian demikian, mereka menipu diri mereka sendiri. Tapi itu adalah hiasan mereka. Cara mereka berpakaian, gaya hidup mereka, lingkungan dan tampilan mereka tidak memberi kesan dengan cara apapun bahwa mereka itu para wali. Mereka tidak perlu menunjukkan dan menyingkapkan siapa diri mereka.

Kebanyakan dari mereka telah sampai kepada wawasan kedalam misteri takdir. Karenanya, mereka tidak menyibukan diri dengan urusan orang lain. Bahkan para-Nabi pun diberitahu misteri takdir setelah masa waktu Nubuwwah mereka agar mampu memenuhi sepenuhnya tugas mereka.

Jika Anda haus akan Kebenaran, carilah mereka, meskipun banyak rintangan, berusahalah untuk mengenal mereka… Jadilah seperti mereka sehingga jalan untuk ‘bermoral dengan moralnya Allah’ terbuka bagi Anda.

Mereka adalah ahli ‘Fardiyyah’! Mereka hanya mengikuti Rasul dan Rabb mereka. Tidak seorang pun bisa campur tangan. Mereka saling mengenal satu sama lain, dan sering kali berkumpul. Tapi mereka menyadari bahwa mereka semua adalah manifestasi dari realita yang sama.

Mereka adalah orang-orang yang dirujuk Rasulullah (saw) dengan ucapan, “Orang-orang mufarrid (ahli Fardiyyah) telah melampaui kalian”, ketika beliau berbicara dengan para muridnya.

Mereka tidak mengikuti aliran atau mazhab tertentu.

Seperti Al-Ghazali (salam untuknya) yang meletakkan Al-Qur’an di dadanya sebelum meninggal dan berkata, “Inilah mazhabku”, mereka hidup dengan Kebenaran ini.

Mereka telah terbentuk dan telah ‘mati’ dari identitas khayal mereka, dan karenanya tidak lagi berpikir ataupun khawatir tentang kematian… Karena mereka tidak akan mengalami kematian lagi…

“Mereka tidak akan merasakan kematian di dalamnya kecuali kematian pertama (mereka kekal)! Dan Dia akan melindungi mereka dari siksa api.”[2]

Mereka telah lama merasakan kematian dan telah beralih ke alam kebahagiaan, surga. Mereka sibuk melihat Rabb mereka… Di setiap saat mereka berhubungan dengan Rabb mereka… Demikianlah para wali, orang-orang yang tulus, para mufarridun, tersembunyi di bawah hijab Rabb mereka.

 

Para pembaca yang terhormat…

Rasulullah (saw) ditanya, “Siapa mufarridun itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang sering mengingat Allah!”

Ketahuilah bahwa tidak ada satu mahluk pun yang tidak bertasbih kepada Allah:

“Tidak satupun yang tidak bertasbih kepadaNya dengan hamd (evaluasi dunia jasmani yang diciptakan dengan Nama-namaNya, sesuai kehendakNya)! Tapi kalian tidak mengetahui fungsi-fungsi mereka! Sungguh, Dia itu Halim dan Ghafur.”[3]

Seluruh mahluk terus memuji dan bertasbih kepadaNya. Sebagian dengan mengetahui, sebagian lagi tidak mengetahuinya… Manusia, binatang, bebatuan, gunung-gunung, tumbuh-tumbuhan, udara… semuanya! Tapi mereka yang kepadanya belum dikaruniai ilmu ilahi, tidak akan mengetahui hal ini.

Tasbih dari setiap manifestasi Asma (Nama), setiap cerminan ilahi, adalah materialisasinya dan tujuan dibalik penciptaannya. Jika Anda memenuhi syarat, Anda akan berusaha untuk memahaminya. Rabb kita adalah Pencipta dari cerminan-cerminan yang dikehendakiNya.

Perlu dicatat bahwa arti mufarridun bukannya orang-orang yang membaca tasbih atau mereka yang sabar atau membaca tahmid, melainkan “mereka yang sering mengingat (dzikr) Allah.”

“Ingatlah Allah ketika berdiri, duduk, atau (berbaring) di sisi tubuh kalian (yakni rasakan Dia pada keberadaan kalian di setiap saat) ...”[4]

Tasbih mahluk pada umumnya berbeda dengan manusia.

Ayat berikut menjelaskan perbedaan ini bagi manusia:

“Sungguh, Kami menawarkan Amanah (hidup sadar akan Nama-nama) kepada langit (kesadaran akan diri, ego) dan bumi (tubuh) dan gunung-gunung (organ-organ), dan mereka menolak untuk memikulnya (komposisi Nama mereka tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkannya) dan takut dengannya; tapi manusia (kesadaran untuk mewujudkan Nama-nama yang menyusun kekhalifahan) sanggup memikulnya…”[5]

Pengaruh dzikr berubah menurut keadaan dan kedudukan orangnya. Pada awalnya dilakukan semata pengulangan suara, tapi setelah beberapa lama menjadi amalan hati, bukannya lisan. Dengan kata lain, ‘dzikir dengan perenungan’ adalah langkah awal dari dzikir yang sesungguhnya, tahap sebelumnya berfungsi sebagai pengantar ke arah ini.

Berikut beberapa Hadits yang relevan dengan topik ini:

“Satu jam perenungan lebih baik dibanding setahun sembahyang.”

“Satu jam perenungan lebih baik dibanding tujuh puluh tahun sembahyang.”

“Satu jam perenungan lebih baik dibanding seribu tahun sembahyang.”[6]

Ketika seseorang mulai merenung maka dia meninggalkan dunia ini… Setelah ini, dzikirnya berasal dari yang gaib (melihat Nama-nama dari sudut esensinya) … Dia tidak lagi mempunyai keterikatan dengan akhirat.



[1] Sahih Muslim, Abu Dawud

[2] Quran 44:56

[3] Quran 17:44

[4] Quran 4:103

[5] Quran 33:72

[6] Quran 97:3; Sirr al-Asrar wa Mazhar al-Anwar, Abdul Qadir Al-Jilani

11 / 12

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini